Kamis, 17 Desember 2009

SENI RUPA DAN PERJUANGAN

Kamis, 17 Desember 2009

Pada masa primitif manusia menggunakan seni untuk menggambarkan pengalamannya berburu binatang. Sedang pada masa feodalisme karya seni dipakai untuk memuliakan raja dan kehidupan istana. Pada masa kapitalisme awal, seni sudah mulai diukur dengan uang dianggap komoditi dihubungkan dengan akumulasi kapital. Ilusi yang kemudian berusaha dikembangkan dikalangan pekerja seni adalah anggapan bahwa karya seni merupakan budaya dari kaum kapitalis di era globalisasi ini. Kalau karya seni berkembang pesat karena sistem kapitalisme anggapan ini ada benarnya, tetapi bila karya seni milik sah sistem kapitalime hal ini yang perlu diluruskan karena pada jaman primitif yang tentunya corak produksi kapitalisme belum hadir kesenian sudah lahir mendampingi kegiatan manusia.

Seni grafis modern didefinisikan secara konvensional sebagai karya dua dimensional yang memanfaatkan proses cetak seperti cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar, dan cetak saring, Jejak perkembangan seni grafis modern Indonesia dapat diketahui sejak kelahiran Republik Indonesia. Seni grafis Indonesia menyatakan kehadirannya dengan karya-karya yang secara estetik bermutu, dan secara politik lantang menggemakan suara Heroisme, patriotisme. Dari sanalah, satu sisi dari Indonesia menjelmakan diri dalam pergaulan antarbangsa. Sejarah menyebutkan bahwa seni grafis lahir dari kebutuhan-kebutuhan untuk mempropagandakan gerakan politik kemerdekaan Indonesia khususnya pada dasawarsa 1940-an sampai 1950-an.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain “Merdeka atau mati!”. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil ngomong: “Bung, ayo Bung!” Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.
(dikompilasikan dari berbagai sumber)

0 komentar:

Posting Komentar

 
CETAK MERAH. Design by Pocket