Rabu, 23 Desember 2009

CETAK MERAH v RAJA RATU BERBULU DOMBA (performance art)

Rabu, 23 Desember 2009 0











Selasa, 22 Desember 2009

Hardboard Cut di atas Kaos!

Selasa, 22 Desember 2009 0







Sabtu, 19 Desember 2009

Cetak, Tempel dan Lawan! (Part II)

Sabtu, 19 Desember 2009 0


Poster Film Dokumenter Pabrik Dodol di Prancis bersama sang sutradara Ari Rusyadi,
taun ini posternya ke prancis, taun depan kita berangkat ke sana!


Jumat, 18 Desember 2009

BUKU : LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat

Jumat, 18 Desember 2009 0
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan
Penerbit: Merekesumba, Jogjakarta
Terbit: Okt 2008, 581 halaman
Spesifikasi buku: 15 x
24 cm (tersedia softcover dan hardcover)
ISBN: 978-979-18475-0-6.
Harga (softcover): Rp 70.000;

TESTIMONI:

Di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), langit kebudayaan Indonesia
dikuasai oleh Lekra dengan mengusung panji-panji agar semuanya
diabdikan untuk mencapai tujuan revolusi yang belum rampung. Buku ini
mencoba mengungkap kembali apa sebenarnya yang terjadi di era yang
sarat gesekan itu. (Prof. Dr. M. Syafii Maarif, guru besar sejarah,
cendekiawan Muslim dan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta
penerima Magsaysay Award 2008)

Buku ini menarik terlepas dari sumber tunggal yang digunakan;
memberikan informasi mengenai situasi Indonesia dari sudut pandang
Harian Rakjat. Bagi sejarawan, buku ini menjadi sumber yang sangat
berguna kalau mereka mau melakukan penelitian lanjut tentang peranan
suratkabar, terutama pada periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi
Terpimpin. Oleh karena itu, terlepas dari setuju atau tidak, buku ini
merupakan salah satu buku yang sangat penting. (Dr. Anhar Gonggong,
sejarawan)

Kalau mau jujur, di masa Lekra-lah budaya kerakyatan itu menemukan
"masa keemasan"-nya. Hidup dan sangat bergairah. Di sana kebudayaan
diarahkan sepenuhnya pada pemihakan yang jelas-tegas kepada kaum yang
tertindas. Apalagi konsepsi "seni untuk Rakyat" dalam konteks yang
kongkrit itu didukung oleh koran progresif seperti Harian Rakjat.
Jurnalisme yang terang-terangan memproklamasikan diri berpihak pada
kaum tertindas dan menentang secara terbuka filsafat-filsafat yang
meracuni kebudayaan masyarakat. Koran ini juga yang dengan sadar
menyediakan pentas seluas-luasnya untuk menampung pikiran-pikiran
kebudayaan seperti sajak, esei, cerita pendek, drama, dan sebagainya,
yang barangkali tak dimiliki koran-koran lain untuk masanya. Buku ini
berusaha menunjukan bagaimana jalan kebudayaan rakyat itu dikelola
secara seksama dengan menampilkan kekayaan wacana, refleksi,
perdebatan budaya, lepas dari soal bahwa kemudian ideologi itu salah
atau benar. Maka buku ini patut dibaca agar kita bisa menajamkan
kembali pikiran budaya kita yang tak terlepas dari kepentingan rakyat.
Sebab selama tak ada pemihakan yang jelas, selama itu pula seni untuk
rakyat tak ada. (Dr. Sindhunata, budayawan dan penulis sejumlah buku)

Buku ini penting dan menarik, sebab mencerminkan hasrat generasi muda
negeri ini untuk menyusuri kembali jejak sejarah bangsanya dari
perspektif yang berbeda. Yaitu, dari perspektif yang lebih terbuka,
lebih kritis, lebih kreatif dan lebih bersikap positif terhadap
rakyat. Di sini kelihatan bahwa jika dipercaya dan diberi kesempatan,
rakyat Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk memajukan dan
memakmurkan bangsanya. Sayang sekali potensi itu telah dibabat oleh
segelintir penguasa yang suka berkolaborasi dengan keserakahan modal
asing sambil melayani kepentingan diri-sendiri. Buku ini dapat menjadi
pendorong untuk menegakkan kembali kedaulatan rakyat Indonesia. (Dr.
Baskara T. Wardaya SJ, Direktur PUSDEP, Pusat Sejarah dan Etika
Politik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)

Sosialisme sebagai sumber pemihakan tani-buruh dan seni budaya pro
rakyat jelata yang hilang paska 1965 kini hidup kembali. Buku ini
memberikan kita jejak pemikiran dan kepedulian populis yang berbasis
kerakyatan itu. (Dr. Mudji Sutrisno, penggiat budaya dan pengajar
studi filsafat di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia)

Ini adalah terbitan yang memiliki makna penting bagi Indonesia di masa
periode Demokrasi Terpimpin. Nilai dari buku ini adalah bahwa ia
dengan sangat hati-hati menggunakan/mengumpulkan bukti untuk
menyingkirkan mitos tentang Lekra yang muncul sebelumnya. Setelah buku
Keith Foulcher tentang Lekra yang terbit pada 1986, tak ada lagi studi
yang komprehensif tentang subjek yang paling penting ini, sehingga
kita sangat berterima kasih kepada penulisnya yang memberi gambaran
yang jelas tentang sejarah kebudayaan Indonesia. (Prof Dr Adrian
Vickers, Professor of Southeast Asian Studies School of Languages and
Cultures)

Riset ini membuka tabu; sebuah ruang ingatan yang ragu-ragu kita
ketahui. Ragu karena trauma, ragu karena kegelapan, dan ragu karena
hilangnya keberanian kritis untuk memeriksa masa lampau. Dengan
caranya sendiri, serpihan tulisan ini mengantar kita untuk mengenal
sebuah masa, tentang sebuah gerakan kebudayaan yang dengan keras
kepala dan dengan kepercayaan penuh dipertahankan pemeluknya. Kisah
tentang "the true believers". (Taufik Rahzen, ziarawan, kurator
senirupa, dan penggiat festival)


TENTANG SAMPUL BUKU

dari kejauhan desain sampul buku ini hanya berwarna putih. tetapi jika diamati secara seksama dari dekat maka anda akan menemukan lambang palu arit dengan efek timbul. Buku yang berisi dokumentasi dimana seni kerakyatan sedang mengalami keemasannya ini dikembalikan ke penerbitnya oleh salah satu toko penjual buku besar kerena desain sampul yang dikhawatirkan menimbulkan polemik. Buku yang berisi kutipan-kutipan langsung dengan ejaan lama ini mengisaratkan bahwa seni bukan sekedar ekspresi jiwa, seni adalah corong rakyat dan media perjuangan.

SOEDIRMAN

Cetak, Tempel, dan Lawan! (Part I)





Poster Film Dokumenter Pabrik Dodol (dodol factory)

tentang film :

Judul : Pabrik Dodol
Durasi : 10 menit
Tahun Produksi : 2009

Festival :
- HAMBURG INTERNATIONAL SHORT FILM FESTIVAL 2009
- ST. PETERSBURG INTERNATIONAL STUDENT FILM FESTIVAL 2009
- HANNOVER UP AND COMING INTERNATIONAL SHORT FILM FESTIVAL 2009
- dll

Film dokumenter berdurasi 10 menit ini disajikan tanpa dialog. untuk gantinya disuguhkan gambar-gambar yang cukup mewakili apa yang ingin disampaikan.
Film yang pernah diputar di beberapa festival di Eropa ini mengangkat keberadaan pengusaha dodol Garut. Pada awal film disajikan adegan-adegan para pekerja dodol tradisional dengan musik latar berirama riang sesekali terdengar alat-alat kerja beradu menghasilkan suara khas pabrik tradisional. Pada adegan lain seorang lelaki berpakaian serba putih tengah mengamati deretan mesin mengolah bahan baku dodol. di bagian akhir film ditampilkan kedua proses pembuatan dodol dalam bagian-bagian yang pendek seakan ingin menampilkan bahwa banyak tenaga manusia yang tergantikan oleh mesin.

tentang poster :

poster film ini menampilkan seseorang yang berjalan meninggalkan pabrik. hal ini ingin menggambarkan bahwa kini demi efisiensi dan lagi-lagi demi keuntungan sebesar-besarnya tenaga manusia harus dikalahkan oleh mesin. warna merah dan hitam ingin menggambarkan kaum pekerja dan pemilik modal dimana kaum pekerja yang diwakili warna merah hanya jadi asap, bayang-bayang dan hanya jadi margin.

BUNG TOMO


"...selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah
yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga..."








Kamis, 17 Desember 2009

SENI RUPA DAN PERJUANGAN

Kamis, 17 Desember 2009 0

Pada masa primitif manusia menggunakan seni untuk menggambarkan pengalamannya berburu binatang. Sedang pada masa feodalisme karya seni dipakai untuk memuliakan raja dan kehidupan istana. Pada masa kapitalisme awal, seni sudah mulai diukur dengan uang dianggap komoditi dihubungkan dengan akumulasi kapital. Ilusi yang kemudian berusaha dikembangkan dikalangan pekerja seni adalah anggapan bahwa karya seni merupakan budaya dari kaum kapitalis di era globalisasi ini. Kalau karya seni berkembang pesat karena sistem kapitalisme anggapan ini ada benarnya, tetapi bila karya seni milik sah sistem kapitalime hal ini yang perlu diluruskan karena pada jaman primitif yang tentunya corak produksi kapitalisme belum hadir kesenian sudah lahir mendampingi kegiatan manusia.

Seni grafis modern didefinisikan secara konvensional sebagai karya dua dimensional yang memanfaatkan proses cetak seperti cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar, dan cetak saring, Jejak perkembangan seni grafis modern Indonesia dapat diketahui sejak kelahiran Republik Indonesia. Seni grafis Indonesia menyatakan kehadirannya dengan karya-karya yang secara estetik bermutu, dan secara politik lantang menggemakan suara Heroisme, patriotisme. Dari sanalah, satu sisi dari Indonesia menjelmakan diri dalam pergaulan antarbangsa. Sejarah menyebutkan bahwa seni grafis lahir dari kebutuhan-kebutuhan untuk mempropagandakan gerakan politik kemerdekaan Indonesia khususnya pada dasawarsa 1940-an sampai 1950-an.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain “Merdeka atau mati!”. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil ngomong: “Bung, ayo Bung!” Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.
(dikompilasikan dari berbagai sumber)
 
CETAK MERAH. Design by Pocket